Assalamu'alaikum

header ads

Benarkah Pengangkatan Hasan Menjadi Khalifah Dengan Wasiat?

Bahasan yang satu ini adalah bahasan yang menarik. Mengapa? Karena bahasan ini berkaitan langsung dengan menantu Rasulullah sendiri, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan putra beliau sekaligus cucu dari Rasulullah, Hasan radhiyallahu 'anhu.
 
Bagai berdiri diantara dua jurang. Kiranya seperti itulah bahasan seputar sahabat yang mulia ini, Ali bin Abi Thalib beserta  putera beliau, Hasan. Ada dua sikap yang saling bertolak belakang, sangat kontras. Sikap berlebihan dalam memuji (ghuluw) dan sikap 'kurang ajar' dalam mencela beliau terkait masalah kepemimpinan.

Disamping itu, banyak sekali kerancuan yang terjadi seputar kekhilafahan Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhu. Ada yang mengatakan beliau ditunjuk menjadi khalifah karena wasiat bapak beliau, Ali. Ada pula yang berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah berwasiat seperti itu.

Syiah, itulah nama kelompok yang meyakini bahwa Ali radhiyallahu 'anhu berwasiat kepada puteranya untuk meneruskan kekhilafahan sepeninggal beliau. Kelompok ini yang paling 'getol' menyebarkan keyakinan ini. Keyakinan wasiat yang diusung oleh kelompok ini, Syiah, sangat bertolak belakang dengan keyakinan kaum muslimin secara umum.

Masalah wasiat ini menjadi penting karena sangat sedikit kaum muslimin yang mengetahui kebenarannya. Ditambah, hal ini berada dalam ranah akidah (keyakinan), jika seseorang keliru meyakini masalah ini maka bisa berakibat fatal terhadap keimanannya seperti menyangka sebagian sahabat Nabi atau seorang saja dari mereka adalah orang yang khianat, curang dan sebagainya maka akan fatal akibatnya. Sedangkan para sahabat ini sudah mendapat jaminan surga dari Allah Azza wa Jalla. Memang fatal bukan?

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan meruntut kronologi pengangkatan Hasan sebagai khalifah sepeninggal Ali dengan disertai nukilan-nukilan para ahli sejarah Islam yang terpercaya. Apa betul beliau ditunjuk sebagai khalifah karena wasiat ayah beliau?

***

Kekhilafahan Hasan dan Keutamaannya 
Setelah khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman bin 'Amru Almurady pada 18 Ramadhan 40 H, Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah untuk negeri Hijaz, Yaman, Irak, Khurasan, dan selainnya. Masa kepemimpinan beliau berlangsung selama tujuh bulan saja, ada yang berpendapat delapan bulan, dan ada pula yang bilang enam bulan.

Kekhilafahan beliau ini, walau relatif singkat termasuk bagian dari masa khilafah rasyidah, yang mana Rasulullah pernah berkata bahwa masa khilafah rasyidah itu tiga puluh tahun dan setelah masa itu, disebut mulk (kerajaan).

Tujuh bulan masa kekhilafahan Hasan jika ditotal dengan masa kekhilafahan para khalifah sebelumnya, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu 'anhum maka berjumlah tiga puluh tahun, persis seperti apa yang Rasulullah shalawatullahi wa salamuhu 'alaih kabarkan. [Lihat: Attabaqatul Kubra karya Ibnu Sa'ad  (4/ 37), Tarikhur Rusul wal Muluk karya Attabary (5/ 143), Alkamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir (3/ 387), dan Albidayah wan Nihayah karya Ibnul Katsir (7/ 387)]

Maksud dari khilafah rasyidah adalah kepemimpinan yang bijaksana atas umat Islam sesuai tuntunan Rasulullah sepeninggal beliau. Jadi, khalifah adalah orang yang mengemban tugas memimpin umat ini sepeninggal beliau. Adapun kata rasyidah maka artinya bijaksana. Ada dua sifat yang melekat pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu 'anhum, yaitu sifat khilafah dan sifat rasyidah (bijaksana) sebagaimana penamaan Nabi shalawatullahi wa salamuhu 'alaih untuk mereka.

Yang perlu diingat adalah penamaan ini tidak hanya melekat untuk mereka saja. Bisa jadi ada pemimpin setelah mereka yang bergelar khalifah, ada pula yang bergelar bijaksana. Akan tetapi persaksian Nabi dan penggabungan kedua sifat ini lah yang menjadi kelebihan para khalifah yang empat ini, sifat khilafah dan sifat rasyidah. [Lihat: Syarhul Akidah Thahawiyah karya Shalih Alus Syaikh (1/ 643)]

Para ulama semisal Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Daud –rahimahumullah-, mereka meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah shalawatullahi wa salamuhu 'alaih dari Safinah radhiyallahu 'anhu, budak beliau. Rasulullah bersabda:

الخلافة في أمّتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك.

"Kekhilafahan umatku selama tiga puluh tahun, adapun setelah itu adalah kerajaan". [HR. Tirmidzi (no. 2226), Abu Daud (no. 4646), dan Ahmad (no. 21969). Lafadz hadits ini dari Tirmidzi, beliau menghukumi hadits ini hasan, dan Albany menghukuminya shahih di kitab Shahih Sunanit Tirmidzi.]
             
Hampir sebagian besar ulama seperti Alqadhi 'Iyadh, Ibnu Katsir, Ibnul 'Araby, Ibnu Abil 'Izz, dan selain mereka rahimahumullah, ketika menjelaskan hadist ini berpendapat bahwa masa khilafah rasyidah adalah masa kepemimpinan para khalifah yang empat dan ditambah masa kepemimpinan Hasan -radhiyallahu 'anhu- sehingga jumlahnya menjadi genap tiga puluh tahun. [Lihat: Ahkamul Quran karya Ibnul 'Araby (4/ 1720) dan Syarhul Akidah Thahawiyah karya Ibnu Abil 'Izz (545)]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Dalil untuk pendapat yang mengatakan bahwa beliau (Hasan) termasuk dari khilafah rasyidah adalah hadits yang kami sebutkan di Dalailun Nubuwah, dari hadits Safinah, pembantu Rasulullah. Jumlah tiga puluh tahun itu tidak mungkin pas kecuali dengan menambahkan masa khilafah Hasan bin Ali". [Albidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (8/ 17)]

***

Benarkah Hasan Menjadi Khalifah Karena Wasiat Ali?
Pendapat yang betul adalah pengangkatan beliau menjadi seorang khalifah memang murni pilihan kaum muslimin waktu itu, bukan karena wasiat Ali, ayah beliau. Hal ini berdasarkan sebuah atsar (ucapan) dari Ali radhiyallahu 'anhu sendiri yang menyatakan penolakan beliau untuk berwasiat.

Imam Dzahaby rahimahullah menukil sebuah atsar dari Ali –radhiyallahu 'anhu- lengkap dengan sanadnya bahwa ketika detik-detik sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk khalifah setelah beliau. "Tunjuklah khalifah setelahmu?" pinta mereka. Namun beliau menolak: "Tidak, aku akan membiarkan kalian (memilih) sesuai dengan apa yang Rasulullah tinggalkan untuk kalian (tuntunan beliau dalam memilih pemimpin, pen)". [Lihat: Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahiri wal 'Alam karya Dzahaby (3/ 153)]

Sebagai penguat, Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah juga menukil atsar yang senada, dari Ali radhiyallahu 'anhu sebelum beliau wafat, dengan redaksi yang sedikit berbeda: "Wahai Amirul Mukminin, tentukan khalifah selanjutnya?" Ketika diminta itu, beliau menolak: "Tidak, akan tetapi aku akan membiarkan kalian (memilih, pen) sebagaimana dahulu Rasulullah membiarkan kalian (memilih khalifah tanpa beliau tentukan, pen). Jika Allah menghendaki kebaikan untuk kalian maka Dia akan kembali menyatukan kalian sebagaimana dulu Allah menyatukan kalian dibawah pimpinan orang yang terbaik setelah Rasulullah". [Albidayah wan Nihayah (8/ 381). Lihat juga: Alkamil fit Tarikh (3/ 85-87)]

Orang yang pertama kali menyodorkan tangan untuk membaiat Hasan setelah Ali radhiyallahu 'anhu wafat adalah Qais bin Sa'ad bin Ubadah, beliau berkata: "Sodorkan tanganmu, Aku ingin membaiatmu (menjadi khalifah, pen) sesuai Alquran dan Sunah Nabi?". Hasan pun sempat terdiam, namun Qais tetap meminta beliau maka akhirnya beliau pun menyodorkan tangan beliau. Kemudian kaum muslimin ikut membaiatnya. [Lihat: Albidayah wan Nihayah (8/ 381) dan Alkamil fit Tarikh (3/ 85-87)]

***
Sebuah Catatan Penting 
Kelompok Syiah Imamiyah sangat 'getol' menyebarkan keyakinan mereka terkait pengangkatan Hasan sebagai khalifah. Mereka meyakini bahwa penunjukan Hasan itu melalui wasiat dari Ali.
Keyakinan seperti ini merupakan salah satu kedustaan mereka terhadap Amirul Mukminin, Ali radhiyallahu 'anhu karena semua riwayat yang mereka nukil tidak ada satu pun yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya.
Syiah atau lebih spesifik lagi Rafidhah, mereka meyakini bahwa imamah (kepemimpinan) itu sama persis dengan nubuwwah (penunjukan menjadi nabi), harus melalui penunjukan langsung dari Allah melalui lisan NabiNya. Ini sebagai bentuk kasih sayang Allah, dan setiap jaman tidak boleh lepas dari penunjukan seorang imam dari Allah langsung serta wajib ditaati oleh semua orang.
Manusia tidak punya hak untuk memilih imam (pemimpin). Bahkan seorang imam sekalipun tidak punya hak untuk menentukan siapa imam selanjutnya kecuali dengan penunjukan langsung dari Allah melalui lisan para Imam tersebut. Itulah sekelumit keyakinan 'nyeleneh' kelompok ini, Syiah Rafidhah. [Lihat: Amirul Mukminin, Hasan bin Ali karya Asshallaby (192)]

Syiah membuat puluhan riwayat palsu yang mereka sandarkan kepada para imam mereka, diantaranya adalah sebuah riwayat yang mereka sandarkan kepada Muhammad Albaqir rahimahullah bahwa beliau berkata: "Apa kalian mengira penunjukan imam (pemimpin) itu berada ditangan kami dan sesuai kehendak kami!? Demi Allah, tidak. Itu semua berasal dari Rasulullah, beliau lah yang menyebutkan satu persatu setiap imam (beserta namanya) hingga imam terakhir". [Ibid (192)]
Riwayat palsu yang lain adalah riwayat yang disebutkan Kulainy (penulis salah satu kitab rujukan kelompok Syiah, Alkafy), dia menceritakan bahwa Ali pernah berkata kepada Hasan: "Wahai anakku, Rasulullah menyuruhku untuk menyerahkan kepemimpinan kepadamu sebagaimana dulu Beliau menyerahkannya kepadaku. Beliau juga menyuruhku untuk memberitahumu jika kamu nanti sekarat agar menyerahkan kepemimpinan ini kepada adikmu, Husain".

Kemudian Ali memanggil Husain dan berkata: "Rasulullah menyuruhmu untuk menyerahkan kepemimpinan itu nanti kepada puteramu ini sambil memegang tangan Ali bin Husain". Kemudian Ali berkata kepada Ali bin Husain: "Rasulullah juga menyuruhmu untuk menyerahkan kepemimpinan itu kepada puteramu, Muhammad bin Ali". "Ini semua perintah Rasulullah". [Alkafy karya Alkulainy (1/ 297-298), buku ini adalah salah satu buku rujukan Syiah]

***
Inilah Tahun Jama'ah 
Setelah Hasan diangkat sebagai khalifah, beliau memandang bahwa beliau adalah pemimpin yang sah untuk seluruh kaum muslimin semasa itu. Tidak terkecuali penduduk negeri Syam yang kala itu belum membaiat beliau sebagai khalifah.
Beliau berencana agar penduduk negeri Syam yang masih dipimpin oleh sahabat yang mulia, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhu ikut membaiat beliau agar kaum muslimin dibawah kepemimpinan satu orang saja. Maka beliau bersama pasukan yang besar berangkat menuju negeri Syam.
Ketika kedua pasukan besar ini bertemu, Hasan radhiyallahu 'anhu melihat bahwa ini tidak akan selesai sampai kedua pasukan saling bunuh. Lantas beliau pun menempuh jalan damai agar darah kaum muslimin tidak tumpah dengan tawaran beliau mundur dari kekhilafahan dan menyerahkannya kepada Muawiyah jika sahabat yang mulia ini sanggup memenuhi syarat yang beliau ajukan.

Terjadilah perjanjian damai setelah Muawiyah radhiyallahu 'anhu memenuhi syarat yang diajukan oleh Hasan radhiyallahu 'anhu. Kaum muslimin kala itu kembali bersatu dibawah naungan satu pemimpin. Oleh karena itu, tahun itu dikenal sebagai tahun jama'ah (persatuan).

Imam Bukhari rahimahullah menceritakan kisah perdamaian Hasan dan Muawiyah radhiyallahu 'anhuma ini secara detail disertai sanadnya yang berasal dari Hasan Albashry rahimahullah. Di akhir cerita, beliau menukil sebuah hadits dari Hasan Albashry yang mendengarnya dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu bahwa sahabat ini pernah melihat Rasulullah diatas mimbar bersama Hasan bin Ali disamping beliau. Kadang beliau menatap Hasan dan kadang menatap hadirin kemudian berkata: "Anakku ini adalah seorang pemimpin. Dengannya kelak, mudahan Allah mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin (yang berselisih)". [HR. Bukhari (no.2704)]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkomentar tentang hadits ini, beliau menjelaskan: "Hadits ini menunjukkan bahwa upaya damai yang Hasan lakukan untuk kedua kubu adalah hal yang terpuji, Allah dan Rasul-Nya menyukainya. Mungkin ini salah satu kelebihan dan keutamaan yang paling besar pada diri Hasan yang mana Rasulullah telah memujinya atas itu. Kalau seandainya perang kala itu wajib atau mustahab (dianjurkan) maka mana mungkin Rasulullah memuji perbuatan yang menyelisihi perkara wajib atau pun mustahab". [Minhajus Sunnah karya Ibnu Taimiyah (2/ 202)]
Hadits ini juga menjelaskan salah satu bentuk sifat pemimpin yang Rasulullah sematkan pada Hasan, yaitu penyerahan beliau khilafah kepada Muawiyah.
Kedua kelompok yang bersama Hasan dan Muawiyah sama-sama disifati dengan muslimin, yang menunjukkan bahwa kedua kelompok yang berselisih ini tidak keluar dari Islam.

Begitu pula pujian terhadap Muawiyah radhiyallahu 'anhu, ada dalam hadits ini. Karena tidak mungkin Rasulullah memuji sikap Hasan –radhiyallahu 'anhu- yang menyerahkan kepemimpinan umat Islam kepada Muawiyah jika seandainya Muawiyah bukan orang yang layak untuk memimpin umat ini. [Lihat: Fathul Wahidil 'Aly fid Difa' 'an Shahabatin Nabi karya Abdullah Assa'ad (60)]
***
Sikap Ahlus Sunnah Dalam Masalah Ini 
Dalam hal ini, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa kekhilafahan Hasan itu sah dan termasuk bagian dari khilafah rasyidah.
Mereka juga memandang upaya damai dengan Muawiyah radhiyallahu 'anhu dan penyerahan tampuk pimpinan merupakan kemuliaan yang Hasan radhiyallahu 'anhu miliki yang mana dengan begitu, terbuktilah ucapan Rasulullah, Allah mempersatukan penduduk Syam dan penduduk Irak. Jelas, Allah dan Rasul-Nya menyukai hal ini (persatuan).
Inilah sikap Ahlus Sunnah terkait masalah ini, dan ini bagian dari akidah mereka. Para ulama semisal Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar, dan Ibnu Katsir –rahimahullah- telah memaparkan hal ini dengan gamblang. [Lihat: Minhajus Sunnah (4/ 532), Majmu'ul Fatawa (25/ 306), Fathul Bari karya Ibnu Hajar (13/ 66), dan Albidayah wan Nihayah (8/ 17)]

Sikap Syiah Rafidhah Dalam Masalah Ini 
Syiah memandang upaya damai Hasan dan penyerahan tampuk pimpinan kepada Muawiyah adalah bentuk kelemahan dari Hasan dan penghinaannya terhadap kemuliaan kaum muslimin. Sehingga pasca kejadian itu, mereka memberi beliau gelar dengan sebutan mudzillul mukminin (orang yang membuat kaum musliminin hina). [Lihat: Ma'rifatu Akhbarir Rijal karya Alkussyi (73)]
Tidak berhenti hanya disitu, mereka mengganggap garis imamah (kepemimpinan) telah putus dari anak keturunan Hasan semenjak peristiwa itu. Makanya sisa imam mereka semua berasal dari anak keturunan Husain saja.
Begitulah sikap Syiah, kelompok yang terus mengklaim sebagai kelompok yang sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah, tapi itu hanya sebatas klaim saja. Buktinya inilah sikap mereka terkait peristiwa yang mereka anggap memalukan ini. Ibnu Rustum, Alqummy, dan Almajlisy adalah nama-nama penulis Syiah yang mencantumkan sikap ini didalam karangan-karangan mereka. [Lihat: Dalailul Imamah (89), Alimamah wat Tabshirah minal Hairah (194), dan Biharul Anwar (25/ 239- 259]

Sikap Khawarij Dalam Masalah Ini 
Adapun sikap Khawarij, kelompok yang 'gemar' mengkafirkan kaum muslimin dengan alasan dosa yang dilakukan, mereka memandang bahwa apa yang Hasan lakukan dengan berdamai dan menyerahkan kekhilafahan kepada Muawiyah adalah karena kecintaannya (Hasan) terhadap dunia.
Mereka menuduh Hasan tertipu dengan ucapan Muawiyah dan tergiur dengan iming-iming uang emas dan perak yang Muawiyah tawarkan sebagai imbalan jika Hasan mau menyerahkan kepemimpinan kepadanya. [Alkasyfu wal Bayan karya Alqalhany (89)]
Salah satu pandangan seorang penulis Khawarij, Alqalhany tentang Hasan, dia menulis: "Hasan telah menjual akhirat dengan dunia sedangkan Allah mengancam yang orang yang seperti ini:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ. 

"Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka". [QS. Hud: 113] [Alkasyfu wal Bayan (89)]
Mereka juga mengharuskan baroah (berlepas diri dan benci) terhadap Hasan karena kesalahan (menurut mereka) yang Dia lakukan, yaitu menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, walau hubungan darah dengan Rasul sekalipun tidak akan berguna untuknya (Hasan). [Kasyful Ghummah (288- 289)]

Pembaca Alukatsir Blog yang dimuliakan Allah, demikiankah ulasan kali ini. Mudah-mudahan Allah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita semua. Semoga Bermanfaat.

Madinah Munawwarah
Malam Selasa, 3 Jumadal Ula 1435 H